Beranda | Artikel
Hukum Oper-kredit (pengalihan Utang) Dalam Fikih Islam (bagian Kedua Dari 2 Seri Tulisan)
Selasa, 1 April 2014

E. Syarat al-hiwalah

Semua imam mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) menyatakan bahwa al-hiwalah menjadi sah apabila sudah terpenuhi syarat-syarat yang berkaitan dengan muhil (pihak pertama), muhal, dan muhal ‘alaih, serta berkaitan dengan utang tersebut.

Syarat bagi muhil (pihak pertama) adalah:
1. Baligh dan berakal. Al-Hiwalah tidak sah dilakukan oleh anak kecil walaupun ia sudah mengerti (mumayyiz), dan tidak sah jika dilakukan oleh orang gila.
2. Ridha. Jika muhil (pihak pertama) dipaksa untuk melakukan hiwalah maka akad tersebut tidak sah.

Syarat bagi muhal (pihak kedua) adalah:
1. Baligh dan berakal.
2. Ada persetujuan (ridha) dari muhal terhadap muhil yang melakukan hiwalah, menurut Mazhab Hanafi serta sebagian besar Mazhab Maliki dan Syafi’i. Persyaratan ini ditetapkan berdasarkan pertimbangan bahwa kebiasaan orang dalam membayar utang berbeda-beda, ada yang mudah dan ada pula yang sulit. Adapun terkait menerima pelunasan, itu merupakan hak muhal.

Jika al-hiwalah dilakukan secara sepihak saja, muhal dapat saja merasa dirugikan, contohnya: apabila ternyata muhal ‘alaih (pihak ketiga) sudah membayar utang tersebut.

Syarat bagi muhal ‘alaih (pihak ketiga) adalah:
1. Baligh dan berakal.
2. Ada persetujuan (ridha) dari muhal ‘alaih, menurut Mazhab Hanafi. Sedangkan mazhab lainnya (Maliki, Syafi’i dan Hanbali) tidak mempersyaratkan hal ini karena dalam akad al-hiwalah, muhal ‘alaih dipandang sebagai objek akad. Dengan demikian, “persetujuan” bukan merupakan syarat sah al-hiwalah.

Syarat yang diperlukan bagi utang yang dialihkan adalah:
1. Sesuatu yang dialihkan itu sudah berbentuk utang-piutang yang sudah pasti.
2. Apabila pengalihan utang itu dalam bentuk al-hiwalah al-muqayyadah, semua ulama fikih sepakat bahwa baik utang muhil kepada muhal maupun utang muhal ‘alaih kepada muhil harus sama jumlahnya dan kualitasnya.

Jika antara kedua utang tersebut terdapat perbedaan jumlah (berlaku untuk utang dalam bentuk uang) atau perbedaan kualitas (berlaku untuk utang dalam bentuk barang) maka al-hiwalah tidak sah.

Akan tetapi, apabila pengalihan itu dalam bentuk al-hiwalah al-muthlaqah maka–menurut Mazhab Hanafi–kedua utang tersebut tidak mesti sama, baik jumlah maupun kualitasnya.

Mazhab Syafi’i menambahkan bahwa kedua utang tersebut harus sama pula waktu jatuh temponya. Jika tidak sama maka tidak sah.

F. Konsekuensi akad al-hiwalah

1. Mayoritas ulama berpendapat bahwa kewajiban muhil untuk membayar utang kepada muhal, dengan sendirinya, menjadi terlepas (bebas). Adapun menurut sebagian ulama Mazhab Hanafi, kewajiban tersebut masih tetap ada selama pihak ketiga belum melunasi utangnya kepada muhal.
2. Akad al-hiwalah menyebabkan lahirnya hak bagi muhal untuk menuntut pembayaran utang kepada muhal ‘alaih.
3. Mazhab Hanafi, yang membenarkan terjadinya al-hiwalah al-muthlaqah, berpendapat bahwa jika akad al-hiwalah al-muthlaqah terjadi karena inisiatif dari muhil maka hak dan kewajiban antara muhil dan muhal ‘alaih–yang mereka tentukan ketika melakukan akad utang-piutang sebelumnya–masih tetap berlaku, khususnya jika jumlah utang-piutang antara ketiga pihak tidak sama.

G. Akad al-hiwalah berakhir

Akad al-hiwalah berakhir jika terjadi hal-hal berikut:
1. Salah satu pihak yang melakukan akad tersebut membatalkan akad al-hiwalah, sebelum akad itu berlaku secara tetap.
2. Muhal melunasi utang yang dialihkan kepada muhal ‘alaih.
3. Muhal meninggal dunia, sedangkan muhal ‘alaih merupakan ahli waris yang mewarisi harta muhal.
4. Muhal ‘alaih menghibahkan atau menyedekahkan harta–yang merupakan utang dalam akad hiwalah–tersebut kepada muhal.
5. Muhal membebaskan muhal ‘alaih dari kewajibannya untuk membayar utang yang dialihkan tersebut.
6. Menurut Mazhab Hanafi, hak muhal tidak dapat dipenuhi karena pihak ketiga mengalami pailit (bangkrut) atau wafat dalam keadaan pailit. Adapun menurut Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, selama akad al-hiwalah sudah berlaku tetap karena persyaratan sudah dipenuhi, akad al-hiwalah tidak dapat berakhir dengan alasan pailit.

H. Akad al-hiwalah yang terlarang

Ada beberapa bentuk akad al-hiwalah (pengalihan utang) yang melanggar aturan syariat yang biasa terjadi di tengah masyarakat, di antaranya:

1. Menjual utang tak tertagih

Hal ini sering dilakukan oleh seseorang atau suatu lembaga keuangan, dengan cara menjual utang yang sulit tertagih. Biasanya, jual beli utang dilakukan dengan nilai yang lebih rendah dari nilai utang yang tak tertagih.

Misalnya, A mempunyai piutang sebesar 10 juta pada B. Piutang A yang ada pada B sulit tertagih sehingga A menjual piutangnya ke C sebesar 8 juta. Dengan demikian, C mendapat keuntungan 2 juta, meskipun piutang belum pasti bisa tertagih. Ini jelas riba karena dalam akad murabahah (jual beli) harus ada objek (barang atau jasa) yang diperjualbelikan, sedangkan dalam hal ini, yang diperjualbelikan adalah piutang. Padahal, piutang tidak boleh dijadikan objek yang bisa mendatangkan manfaat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dilarang (tidak boleh) melakukan transaksi salaf bersamaan dengan transaksi jual beli.” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah; dinilai hasan oleh Al-Albani)

Yang dimaksud “salaf” ialah ‘piutang’. Diriwayatkan dari shahabat Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud, dan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhum bahwa mereka semua melarang setiap piutang yang mendatangkan manfaat karena piutang adalah suatu akad yang bertujuan untuk memberikan uluran tangan (pertolongan). Oleh karena itu, bila pemberi piutang mempersyaratkan suatu manfaat, berarti akad piutang tersebut telah keluar dari tujuan utamanya.” [7]

2. Menjual giro

Menjual giro (cek mundur) sering juga dilakukan oleh seeorang ketika dia membutuhkan uang yang bisa didapatkan segera sebelum tanggal pencairan giro. Dia menjual giro itu di bawah nilai yang tertera dalam giro tersebut. Ini jelas riba karena sama dengan “jual beli piutang” atau piutang dijadikan objek yang bisa mendatangkan manfaat.

Misalnya, A mempunyai giro dengan nilai 5 juta, dan itu bisa dicairkan pada tanggal 30 Februari 2011. Kemudian, sepuluh hari sebelum pencairan, yaitu tanggal 20 Februari 2011, giro tersebut dijual kepada B senilai 4 juta. Dengan demikian, B mempunyai untung sebesar 1 juta yang bisa dia cairkan pada tanggal 30 Februari 2011.

Dalam akad seperti ini, ribanya sudah tumpang tindih. Gironya saja sudah riba karena mengandung gharar (ketidakjelasan); apakah pasti bisa cair atau tidak. Bisa jadi, ketika pencairan, ternyata giro itu kosong. Sudah gironya mengandung gharar, diperjualbelikan pula!

Demikian penjelasan tentang hukum al-hiwalah (oper kredit/pengalihan utang) dalam fikih Islam. Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Amin.

==
Catatan kaki:
[7] Al-Muhadzdzab, karya Imam Asy-Syairazi Asy-Syafi’i, 1:304.

Dipublikasikan ulang dari majalah Pengusaha Muslim, rubrik “Fikih Kontemporer”, dengan penyuntingan tata bahasa oleh redaksi www.PengusahaMuslim.com.

==

Silakan baca Hukum Oper-Kredit (Pengalihan Utang) dalam Fikih Islam (Bagian Pertama dari 2 Seri Tulisan)


Artikel asli: https://pengusahamuslim.com/54-hukum-operkredit-pengalihan-utang-dalam-fikih-islam-bagian-kedua-dari-2-seri-tulisan.html